(Book Review) Filosofi Teras by Henry Manampiring

Kali ini aku ingin me-review salah satu buku non-fiksi Indonesia yang cukup populer, yaitu Filosofi Teras. Aku pas banget baca buku ini setelah aku selesai baca Berani Tidak Disukai dan aku bisa bilang kalau keduanya punya pembahasan yang cukup mirip. Perbedaannya, Filosofi Teras ditulis berdasarkan filosofi Stoa Yunani, sedangkan Berani Tidak Disukai ditulis berdasarkan teori psikologi Alfred Adler.

Perbedaan lainnya yaitu pada penyampaian isi yang ada di dalam bukunya. Kalau Berani Tidak Disukai ditulis melalui percakapan antara seorang pemuda dan filsuf, Filosofi Teras ditulis melalui paragraf-paragraf panjang dengan bahasa yang ringan sehingga mudah untuk dipahami dan diselingi dengan jokes atau candaan yang seringkali bikin ketawa pas lagi baca bukunya, juga adanya ilustrasi gambar mengenai topik yang sedang dibahas.

Filosofi Teras menjelaskan mengenai pandangan hidup berdasarkan filsuf-filsuf Stoa seperti Seneca, Epiktetos, Marcus Aurelius, dan masih banyak lagi. Di awal bukunya, Henry Manampiring menjelaskan bagaimana filosofi Yunani yang sudah ada beribu-ribu tahun yang lalu ini masih sangat relevan dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan saat ini, bahkan sangat membantu dalam beberapa kasus, seperti menekan kekhawatiran, mengendalikan emosi, membuat kita belajar mengantisipasi hal buruk yang akan terjadi, serta sikap yang bijak ketika menanggapi hate comment.

Yang paling membekas dari buku ini buatku sendiri adalah mengenai dikotomi kendali, yaitu adanya hal yang bisa kita kontrol dan sebaliknya, ada hal yang nggak bisa kita kontrol dalam hidup ini. Menurutku penting banget sih buat kita untuk bisa membedakan hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam keduanya, sehingga kita bisa lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan aja dan nggak ambil pusing sama hal yang ada di luar kendali kita. Ini membantu banget supaya kita nggak jadi overthinking.

Penyebab overthinking lainnya seringkali juga disebabkan karena interpretasi kita akan suatu hal yang kadangkala belum tentu benar. Di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana kita bisa mengendalikan interpretasi dan persepsi di dalam pikiran kita supaya nggak meresahkan dan membuat kekhawatiran dalam diri kita yang sebenarnya nggak perlu. Sebaliknya, kita bisa mengendalikan interpretasi kita ke arah yang lebih rasional yang kemudian dapat menghasilkan emosi yang positif.

Salah satu hal favoritku dari buku ini yaitu adanya intisari atau poin-poin penting yang dituliskan pada akhir tiap babnya, sehingga kita bisa me-review ulang atau mengingat kembali secara singkat pembahasan yang ada di dalam bab tersebut. Nah, kalau hal yang aku kurang suka dari buku ini yaitu penulisannya yang nggak rata kanan-kiri (justify). Aku nggak tau sih kenapa, apa mungkin biar bukunya nggak terlihat terlalu formal apa gimana, tapi buat aku ini sedikit bikin nggak nyaman.

Tapi overall, sesuai dengan popularitasnya, buku ini emang sebagus itu. Buat orang-orang awam sepertiku yang sebelumnya nggak pernah belajar tentang filsafat sama sekali, buku ini ringan banget dan mudah dipahami serta nyaman untuk dibaca.

Rasanya habis baca Berani Tidak Disukai dan Filosofi Teras berturut-turut pandanganku akan hidup berasa dirombak ulang. XD

Senang banget bisa nemuin kedua buku ini terutama di waktu sulit seperti sekarang. Aku harap nggak cuma sekadar tahu teorinya, tapi aku juga bisa mengaplikasikannya dalam kehidupanku mulai dari sekarang.

“Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apa pun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang belum dia miliki dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.”

“…uang dan harta benda selalu bisa dicari, tetapi waktu adalah harta yang tanpa ampun terus menghilang dari kehidupan kita, terus mendekatkan diri kita kepada kematian.”

5 tanggapan untuk “(Book Review) Filosofi Teras by Henry Manampiring

Tinggalkan komentar